PERTAMBAHAN ATAU PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN DI
INDONESIA
Pengertian Penduduk adalah orang-orang yang berada di dalam suatuwilayah
yang terikat oleh aturan-aturan yang berlaku dan salingberinteraksi satu sama
lain secara terus menerus / kontinu. Dalamsosiologi, penduduk
adalah kumpulan manusia yang menempatiwilayah geografi dan ruang tertentu.
Penduduk suatu negara atau
daerah bisa didefinisikan menjadi dua:
•Orang yang
tinggal di daerah tersebut
•Orang yang secara
hukum berhak tinggal di daerah tersebut.
Definisi Pertambahan
Pertambahan penduduk adalah pertambahan populasi
manusia dan dapat dihitung dengan menggunakan pengukurun "per waktu
unit". Ini berarti bahwa pertumbuhan mencangkup : pertama, kemajuan
lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan lain-lain, kedua, kemajuan
batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa keadilan, rasa sehat; dan ketiga,
kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana tercermin dalam perbaikan
hidup berkeadilan sosial.
Pertambahan penduduk di Indonesia semakin meningkat. Seiring
dengan bertambahnya penduduk, semakin berpengaruh terhadap keseimbangan
lingkungan dan kelestarian alam salah satunya adalah ketersediaan sumber daya
alam untuk manusia. Berdasarkan statistik negara 2013/2014 bahwa Indonesia
masuk ke rangking 4 dengan jumlah 237.641.326 juta jiwa. diatasnya
adalah Amerika serikat dan di bawahnya adalah Brazil. Bahkan, BPN
memprediksikan pada tahun 2035 sekitar 305,6 juta jiwa. Padahal luas
keseluruhan negara indonesia adalah1.919.440 km2. Pertumbuhan
pendudukan di Indonesia sangat mencengangkan sekali, berbeda dari Amerika
serikat dan Brazil yang mempunyai populasi lebih kecil dibandingkan luasnya.
Penyebab Pertambahan Penduduk
Yang Menyebabkan Penduduk ada 2 yakni :
ü
Kelahiran atau
natalitas, kepadatan populasi akan bertambah. Angka kelahiran diperoleh
menghitung jumlah kelahiran hidup tiap 1000 penduduk per tahun. Ini adalah
penyebab alami pertambahan penduduk.
ü
Imigrasi, adanya
penduduk yang datang akan menambah kepadatan populasi. Ini termasuk Penyebab
non-alami pertambahan penduduk
Dari definisi diatas tersirat bahwa makhluk hidup
merupakan pihak yang selalu memanfaatkan lingkungan hidupnya, baik dalam hal
respirasi, pemenuhan kebutuhan pangan, papan dan lain-lain. Manusia
sebagai makhluk yang paling unggul di dalam ekosistemnya, memiliki daya dalam
mengkreasi dan mengkonsumsi berbagai sumber-sumber daya alam bagi kebutuhan
hidupnya. Ledakan penduduk
sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang cepat seperti itu memberikan dampak
yang buruk bagi kehidupan dan pencemaran lingkungan.
Sudah banyak sekali
terjadi pencemaran lingkungan di Indonesia, yang disebabkan oleh berbagai macam
masalah seperti polusi dari kendaraan, banjir yang disebabkan oleh buang sampah
sembarangan, serta panasnya bumi karena kurangnya oksigen sebab hutan-hutan
banyak ditebang sebagai lahan tempat tinggal manusia, dan tanaman-tanaman
semakin berkurang dan semakin sedikit menghasilkan oksigen . Jika ditinjau
ulang, seluruh aktivitas yang dapat merusak lingkungan tersebut dan juga
menghasilkan polusi, merupakan aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Manusia
dalam hal ini berperan penting dalam kelangsungan hidup lingkungan di sekitarnya.
Semakin banyak jumlah penduduk di suatu tempat cenderung menyebabkan pencemaran
dalam suatu lingkungan tersebut.
Pencemaran atau polusi tidak dapat dihindari, yang dapat dilakukan adalah
mengurangi, mengendalikan pencemaran, dan meningkatkan kesadaran serta
kepedulian masyarakat kepada lingkungannya. Jumlah penduduk yang makin
meningkat menyebabkan kebutuhannya makin meningkat pula.
Hal ini berdampak negatif pada lingkungan, yaitu:
1) Makin berkurangnya lahan produktif, seperti sawah
dan perkebunan karena lahan tersebut dipakai untuk pemukiman.
2) Makin berkurangnya ketersediaan air bersih. Manusia
membutuhkan air bersih untuk keperluan hidupnya. Pertambahan penduduk akan
menyebabkan bertambahnya kebutuhan air bersih. Hal ini menyebabkan persediaan
air bersih menurun.
3) Pertambahan penduduk juga menyebabkan arus
mobilitas meningkat. Akibatnya, kebutuhan alat tranportasi meningkat dan
kebutuhan energi seperti minyak bumi meningkat pula. Hal ini dapat menyebabkan
pencemaran udara dan membuat persediaan minyak bumi makin menipis.
4) Pertambahan penduduk juga menyebabkan makin
meningkatnya limbah rumah tangga, seperti sampah dan lain-lain. Hal ini dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan
Penduduk atau warga suatu negara atau daerah bisa didefinisikan
menjadi dua
1. Orang yang tinggal di daerah tersebut
2. Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah
tersebut. Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di
situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain.
Semua orang yang
mendiami wilayah Indonesia disebut penduduk Indonesia. Berdasarkan sensus
penduduk yang diadakan setiap 10 tahun sekali, diperoleh data jumlah penduduk
Indonesia sebagai berikut :
1. Tahun 1961 = 97,1 juta jiwa
2. Tahun 1971 = 119,2 juta jiwa
3. Tahun 1980 = 147,5 juta jiwa
4. Tahun 1990 = 179.321.641 juta jiwa
5. Tahun 2004 = 238.452 juta jiwa
Sensus penduduk (cacah jiwa) adalah
pengumpulan, pengolahan, penyajian dan penyebarluasan data kependudukan. Jumlah
penduduk ditentukan oleh :
§
Angka kelahiran;
§
Angka kematian;
§
Perpindahan penduduk,
yang meliputi :
1. Urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari desa ke
kota.
2. Reurbanisasi, yaitu perpindahan penduduk kembali ke
desa.
3. Emgrasi, yaitu perpindahan penduduk ke luar negeri.
4. Imigrasi, yaitu perpindahian penduduk dari luar negeri
ke dalamnegeri.
5. Remigrasi, yaitu perpindahan penduduk kembali ke
negara asal.
6. Transmigrasi, yaitu perpindahan penduduk dari satu
pulau kepulau lain dalam satu negara.
Perubahan Paradigma
Masyarakat Dalam Memandang Fungsi Lingkungan Pemukiman
Tingkat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali telah mengakibatkan munculnya kawasan-kawasan permukiman kumuh dan squatter (permukiman liar). Untuk mencapai upaya penanganan yang berkelanjutan tersebut, diperlukan penajaman tentang kriteria permukiman kumuh dan squatter dengan memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta lingkungannya. Pemahaman yang komprehensif kriteria tersebut akan memudahkan perumusan kebijakan penanganan serta penentuan indikator keberhasilannya.
Rumah pada hakekatnya merupakan kebutuhan dasar (basic
needs) manusia selain sandang dan pangan, juga pendidikan dan kesehatan. Oleh
karena itu maka dalam upaya penyediaan perumahan lengkap dengan sarana dan
prasarana permukimannya, semestinya tidak sekedar untuk mencapai target secara
kuantitatif (baca: banyaknya rumah yang tersedia), semata-mata, melainkan harus
dibarengi pula dengan pencapaian sasaran secara kualitatif (baca: mutu dan
kualitas rumah sebagai hunian), karena berkaitan langsung dengan harkat dan
martabat manusia selaku pemakai. Artinya bahwa pemenuhan kebutuhan akan
perumahan dan permukiman yang layak, akan dapat meningkatkan kualitas kehidupan
dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan di dalam masyarakat Indonesia perumahan
merupakan pencerminan dan pengejawatahan dari diri pribadi manusia, baik secara
perorangan maupun dalam satu kesatuan dan kebersamaan dalam lingkungan alamnya.
Ujung dari semua ledakan penduduk itu adalah kerusakan
lingkungan dengan segala dampka ikutannya seperti menurunnya kualitas pemukiman
dan lahan yang ditelantarkan, serta hilangnya fungsi ruang terbuka. Dampak
lonjakan populasi bagi lingkungan sebenarnya tidak sederhana. Persoalannya
rumit mengingat persoalan terkait dengan manusia dan lingkungan hidup. Butuh
kesadaran besar bagi tiap warga negara, khusunya pasangan yang baru menikah,
untuk merencanakan jumlah anak.
Pertambahan penduduk
dari tahun ke tahun sangat bertambah pesat di karenakan oleh berbagai factor.
Karena bertambah pesatnya penduduk terjadi kesenjangan social,salah satunya
rusaknya lingkungan pemukiman. Yang selayaknya pemukiman itu tertata
bersih,nyaman,dan indah terawatt tetapi,berubah terbalik menjadi kotor dan
berantakan.
Dapat dilihat di
sudut kota Jakarta,dimana ibukotanya Indonesia terdapat
kawasan padat penduduk,sungguh di sayangkan hal seperti itu terjadi. Namun apa
boleh buat.Ini merupakan salah satu kegagalan
pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya. Bertambahnya penduduk
di kota ini dikarenakan dasar ekonomi yang sangat lemah, tidak suksesnya
program KB (Keluarga Berencana), banyaknya pendatang dari luar pulau atau luar
negeri yang singgah ke Jakarta untuk mencari nafkah.
Padatnya pemukiman
warga,menjadi banyak kendala,di antaranya; mudah terjadi kebakaran, lingkungan
yang kotor, kebanjiran, pergaulan bebas. Namun disegi kelingkungan jarang
sekali adanya kesadaran untuk kebersihan, mau tidak mau ketua RT dan RW sangat
berperan penting untuk menjalin hubungan antar sesama.
Pemerintahpun telah
membangun apartemen dan rumah susun untuk kalangan kebawah,tetapi sungguh
disayangkan. Orang-orang dari kaum ekonomi atas menyerobot begitu saja. Di
dunia ini tidak ada yang lebih penting dari uang dari ucapan kalangan ekonomi
atas,menengah maupun kebawah.
Pertambahan Penduduk
dan Lingkungan Pemukiman
Surabaya sebagai kota
metropolitan terbesar kedua di Indonesia, merupakan pusat pertumbuhan orde
pertama yang telah menjadi “magnet” terkuat bagi penduduk di daerah penyangga (hinterland), terutama daerah perdesaan sekitar kota
tersebut. Keberadaan Kota Surabaya tersebut merupakan bagian dari daerah
perkotaan (urban) di Indonesia, khususnya di P.Jawa. Secara makro, pertumbuhan
penduduk perkotaan di P.Jawa terus berkembang sehingga Jawa telah dijuluki
sebagai urban island. Mereka datang ke Kota Surabaya karena di tempat tersebut
banyak pilihan untuk memperoleh berbagai kesempatan dalam upaya memperbaiki
kehidupannya. Mereka datang ke Kota Surabaya dengan berbagai motif, meskipun
motif ekonomi adalah unsur yang paling dominan. Mereka mempunyai persepsi dan
harapan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada di daerah asal,
terutama perdesaan. Meskipun demikian, pesatnya pertumbuhan penduduk Kota
Surabaya selain disebabkan oleh proses migrasi, juga karena pertambahan alami.
Kota Surabaya itu sendiri telah berkembang dalam proses interaksi dari komponen
keadaan penduduk, teknologi, lingkungan dan organisasi perkotaan sehingga telah
melahirkan “ ecological urban complex”.
Sejalan dengan kondisi
yang demikian maka di Kota Surabaya, seperti halnya kota-kota metropolitan yang
lain, muncul kamajemukan masyarakat. Sebagian dari sekmen masyarakat yang
majemuk tersebut adalah penduduk yang tinggal di daerah perkampungan kumuh baik
yang legal maupun yang ilegal. Penduduk yang bermukim di kampung yang ilegal
lazim disebut penduduk liar atau penduduk spontan atau squatters. Hal tersebut
telah menjadi fenomena sosial yang universal, artinya telah terjadi di banyak
negara. Keberadaan masyarakat kumuh tersebut merupakan realita sosial yang
tidak dapat dihilangkan, sepanjang penduduk daerah penyangga Kota Surabaya
masih hidup dalam kondisi marginal atau telah terjadi proses ketimpangan dalam
kehidupan sosial-ekonomi. Pembangunan investasi yang bergerak pesat telah
terjadi di Surabaya sehingga telah memperlebar jurang ketimpangan dengan
kondisi sosial-ekonomi daerah perdesaan. Oleh karena itu ketimpangan tersebut
telah menimbulkan proses migrasi , antara lain penduduk non-permanen pada
strata sosial-ekonomi bawah.
Pada tataran regional,
adanya proses kaitan (lingkage) yang kurang harmonis antara Kota Surabaya
dengan daerah belakang telah berlangsung puluhan tahun. Kehidupan mereka di
Surabaya telah ditunjukkan oleh rendahnya kualitas pendidikan migran
non-permanen dan umumnya mereka bekerja sebagai buruh dan sebagian lain
berusaha pada sektor informal. Sepanjang pekerjaan di sektor informal maupun
buruh murah masih ada demand di masyarakat Surabaya dan dinilai secara ekonomi
menguntungkan, maka keberadaan mereka akan tetap ada. Pilihan mereka menjadi
tukang becak, menjadi pemulung, menjadi penjual pakaian bekas, penjaja makanan
murah, menjadi buruh babrik, menjadi pembantu rumahtangga, adalah pilihan jenis
pekerjaan yang rasional dan menjadi tujuan mengingat tingkat kemampuan ekonomi
dan tingkat pendidikan mereka yang umumnya sangat rendah.
Oleh karena itu
keberadaan penduduk marginal di lingkungan permukiman kumuh Kota Surabaya
merupakan suatu keniscayaan, dan tidak perlu dipertentangkan dengan upaya
pemerintah daerah Kota Surabaya yang ingin meningkatkan keindahan dan
kenyamanan lingkungan kota. Pemerintah Kota Surabaya tidak dapat melarang
seseorang yang ingin bermigrasi, karena hak asasi manusia telah melindunginya,
walaupun mereka seharusnya mematuhi perundang-undangan yang berlaku dan
menghormati nilai-nilai yang hidup pada masyarakat Kota Surabaya. Dalam hal ini
kegiatan penduduk marginal di permukiman kumuh dapat dilihat sebagai sub-sistem
dari sistem perkotaan Surabaya. Penduduk migran non-permanen yang bermukim di
daerah kumuh antara lain berada di Kelurahan Putat Gede, Kelurahan Tg.Sari, Kelurahan Suko Manunggal,
Kelurahan Pacar Keling, Kelurahan Kr.Pilang dan Kelurahan Waru Gunung,
cenderung didominasi oleh penduduk dari daerah perdesaan sekitar Kota Surabaya
seperti Bangkalan, Gresik, Lamongan dan Mojokerto, meskipun mereka banyak pula
yang datang dari daerah lain, bahkan dari luar provinsi Jawa Timur.
Migran non-permanen
yang banyak tinggal di daerah permukiman ilegal tersebut sering disebut sebagai
penduduk spontan atau disebut secara popular sebagai migran musiman , ternyata
masih terikat dengan kehidupan daerah asalnya. Oleh karena itu sebagian besar
dari mereka belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kota Surabaya. Atas dasar
pemilikan KTP Pemkot Surabaya telah membuat kebijakan dengan memberi prioritas
dalam memperoleh atau memanfaatkan bantuan, fasilitas publik dan subsidi.
Meskipun ada kebijakan yang diskriminatif namun dalam kenyataan sebagian warga
musiman dapat ikut menikmatinya. Dalam hal ini terkesan bahwa pemerintah kota
tidak ketat antara status kependudukan dengan hak-hak warganya. Aturan
kependudukan yang tidak diikuti oleh ketegasan dalam implementasinya, tentunya
telah membuat kondisi yang kondusif terjadinya migrasi masuk ke Surabaya, yang
pada gilirannya menimbulkan berbagai masalah perkotaan, antara lain
ketidakcukupan penyediaan fasilitas sosial, munculnya konflik tanah, penurunan
daya dukung lingkungan, dan meningkatnya pengangguran.
Penduduk musiman yang
umumnya hidup dalam kondisi marginal, diharuskan memiliki Kartu Identitas
Penduduk Musiman (KIPEM), namun untuk mengurus KIPEM, apalagi menjadi warga
Surabaya tidaklah sederhana. Mereka harus mengorbankan sejumlah dana dan waktu
pengurusan yang dinilai cukup memberatkan. Di samping itu, dengan tetap
mempertahankan sebagai warga musiman, berarti mereka tidak kehilangan statusnya
sebagai warga di daerah asalnya. Dengan memiliki KTP daerah asal, berarti
mereka masih tetap memiliki hak untuk melakukan berbagai urusan di daerah
asalnya misalnya memilih kepala desa, mengurus pemilikan aset, dan mengurus
tempat pemakaman. Oleh karena itu meskipun secara de fakto mereka tinggal di
Surabaya, namun masih tetap terikat dengan daerah asalnya, bahkan telah terjadi
arus remitan baik uang maupun barang, dan penyampaian ide-ide seputar kehidupan
di Surabaya. Dalam keadaan demikian maka hal ini telah menimbulkan proses
migrasi desa-kota secara “gandeng-ceneng” (chain migration). Hasil penelitian
PPK-LIPI (2004) telah menunjukkan bahwa tidak semua pendatang, (meskipun telah
lama tinggal di Surabaya, bahkan telah punya rumah), mempunyai KIPEM. Oleh
karena itu dalam kenyataan jumlah pendatang musiman di Surabaya adalah di atas
data statistik berdasarkan kepemilikan KIPEM.
Keberadaan migran
non-permanen di permukiman kumuh yang menempati lahan milik pemerintah atau
milik publik, dapat dikategorikan sebagai hunian ilegal atau lazim disebut
hunian liar ( squatter). Hal ini jelas telah menimbulkan konflik antara
penghuni dengan instansi yang bertanggung jawab atas lahan yang ditempatinya,
seperti DAUP VIII PT.TKI dan Dinas PU . Meskipun mereka tinggal pada permukiman
liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga
(RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya
telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga
telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi yang
demikian, jelas akan mempersulit bagi Pemkot Surabaya maupun pemilik lahan
untuk membebaskan permukiman demikian.
Munculnya permukiman
liar dan permukiman yang tidak layak huni sebenarnya merupakan kelemahan
managemen dalam mengelola tata ruang kota. Upaya telah dilakukan untuk
mengurangi persoalan permukiman kumuh yaitu dengan perbaikan kondisi lingkungan
dan membuat rumah susun yang telah melibatkan partisipasi masyarakat . Upaya
ini telah dinilai berhasil, meskipun belum mampu menyelesaikan persoalan
menyeluruh tentang permukiman kumuh yang cenderung bertambah sejalan dengan
pertambahan penduduk pendatang yang ingin memperoleh perumahan murah. Banyak
kendala yang dihadapi dalam penyediaan rumah layak huni dalam hal ini adalah
rumah susun bagi keluarga kurang mampu antara lain kekurangan lahan kosong,
rendahnya minat swasta untuk berinvestasi, dan harga tanah di Surabaya yang
sangat mahal. Meskipun untuk membangun rumah susun adalah sulit, namun bagi
kota metropolitan Surabaya nampaknya merupakan keharusan untuk
memfasilitasinya.
Penduduk pendatang
yang kurang selektif, meskipun telah memberi kontribusi negatif terhadap
kondisi lingkungan kota karena telah menciptakan permukiman kumuh dengan segala
implikasinya, namun sebenarnya mereka juga memberi kontribusi positif bagi
pembangunan kota.
sumber:
0 komentar:
Posting Komentar